English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

this widget by www.AllBlogTools.com

Jumat, 19 November 2010

Sulawesi #1 - Poso conflict in an American Reporter's eyes / Konflik Poso di mata seorang Reporter Amerika

Poso is one of beautiful and peaceful areas in Sulawesi island, Indonesia, inhabited by people with various ethnics and religions. But on 1998 Christmas Eve, there was a fight between two youths, said on alcohol background, which continued to be riots between communities of Muslims and Christians, ultimately took more than 700 souls of victim brutally, aside all the buildings, homes and wealth which were burnt in years. Indeed the root of the problems, much deeper and broader, is on the wounded hearts of human beings who desperately needed the Father’s love.
Poso adalah salah satu wilayah yang permai dan damai di pulau Sulawesi, Indonesia, dihuni oleh penduduk dengan beragam etnis dan agama. Namun pada malam Natal 1998, terjadilah perkelahian antara dua anak muda, diceritakan berlatar belakang alkohol, yang kemudian berlanjut menjadi kerusuhan antar komunitas agama Muslim dengan Kristen yang pada akhirnya bertahun-tahun dengan brutal memakan lebih dari 700 korban jiwa, di samping semua gedung, rumah dan harta yang terbakar habis. Akar permasalahannya sesungguhnya jauh lebih dalam dan luas, yaitu pada luka hati insan-insan yang sangat membutuhkan kasih Bapa.


Excerpt from ASI Blog - The MacArthur Asia Security Initiative :
 

"The underlying causes of the conflict were more complex and could be attributed to a combination of horizontal and socio-economic inequalities. There were historical inequalities between the Christian and Muslim communities which were then compounded by state-backed Islamisation in the 1990s further fueling enmities between the two religious communities. Transmigration of Muslims from other parts of Indonesia altered the religious balance in the region, which heightened tensions and increased Christian anxieties of political and economic marginalization particularly in the face of scarce resources. Throughout the New Order regime, outbreaks of violence occurred intermittently between Muslims and Christians in the region, but the Soeharto government responded with swift repression. Following the collapse of the New Order regime in 1998, new political circumstances led to intense political competition that exploited religion and identity cleavages. In a nutshell, the Poso conflict erupted into violence once religion and ethnicity were exploited, in the words of one workshop participant, as “political vehicles for certain elite interests.”

After almost three years of violence in which an estimated 700 people were killed, the Indonesian government initiated the Malino peace process in December 2001. .. The Malino agreement did not settle the conflict entirely. .. After the signing of the peace agreement, Poso continued to be marred by intermittent violence with the latest and more noticeable outburst occurring in late 2006 after the execution of three Christian men over their alleged roles in the violence in the Poso conflict between 1998 and 2001..." 


(Here is another report about the seeming injustice:  https://thebosun.wordpress.com/2007/08/31/justice-for-muslims-not-christians-in-indonesia)

Kutipan dari ASI Blog - The MacArthur Asia Security Initiative:
 

"Sebab-musabab yang mendasari konflik itu lebih kompleks dan dapat dihubungkan kepada suatu kombinasi ketimpangan hak-hak horisontal dan sosio-ekonomis. Ada ketidak-adilan historis di antara komunitas-komunitas Kristen dan Muslim yang kemudian dilipatgandakan oleh Islamisasi yang disokong oleh negara pada tahun 1990 yang menjadi bahan bakar permusuhan yang lebih jauh lagi di antara kedua komunitas relijius. Transmigrasi orang Muslim dari bagian lain Indonesia mengubah keseimbangan relijius di wilayah itu, mempertinggi ketegangan-ketegangan dan meningkatkan kegelisahan umat Kristen mengenai marginalisasi secara khusus di bidang politik dan ekonomi dalam menghadapi sumber daya yang nyaris tidak ada. Selama rezim Orde Baru, pecahnya kekerasan-kekerasan terjadi sebentar-sebentar antara kaum Muslim dengan kaum Kristen di wilayah itu, namun pemerintahan Soeharto menanggapinya dengan tekanan yang cepat. Setelah jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, situasi-situasi politik yang baru menyebabkan kompetisi politis yang intens yang mengeksploitasi agama dan identitas perpecahan. Singkatnya, konflik Poso meletus menjadi kekerasan begitu agama dan etnis dieksploitasi, dalam kata-kata dari salah satu peserta lokakarya, sebagai "kendaraan politik bagi kepentingan-kepentingan elit tertentu."

Sesudah hampir tiga tahun kekerasan dimana diperkirakan 700 orang telah terbunuh, pemerintah Indonesia meprakarsai proses perdamaian Malino pada bulan Desember 2001. .. Persepakatan Malino tidak menyelesaikan konflik itu secara keseluruhan. .. Sesudah penandatanganan kesepakatan damai, Poso masih terus dirusaki oleh kekerasan yang muncul sebentar-sebentar dengan ledakan terakhir yang lebih bisa terlihat terjadi di penghujung 2006 sesudah eksekusi ketiga orang Kristen yang tanpa bukti telah dinyatakan memegang peranan dalam kekerasan dalam konflik Poso antara 1998 sampai 2001..."


In fact all of the human efforts could never bring the real peace back to Poso. Documentation of all of the postings in this Sulawesi series will show you how the LORD takes control upon all that happens. “And we know that all things work together for good to them that love God, to them who are the called according to His purpose” (Roman 8:28), and all is for the glory of the LORD!
Pada kenyataannya segenap upaya manusia tidak pernah dapat mengembalikan kedamaian sejati ke Poso. Dokumentasi dari seluruh postingan dalam serial Sulawesi ini akan memperlihatkan bagaimana TUHAN memegang kendali atas segala sesuatu yang terjadi. "Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah" (Roma 8:28), dan semuanya adalah bagi kemuliaan nama TUHAN!

Therefore let us get closer to Him and take part in His plan of restoration for our land, for our country, for all God’s children in the world, towards His soon coming!
Karena itu marilah kita semakin mendekatkan diri kita kepada-Nya dan turut mengambil bagian dalam rencana pemulihan Tuhan bagi pulau kita, bagi negeri kita, bagi semua anak-anak-Nya di dunia, menjelang kedatangan-Nya yang semakin dekat!


VOA Report 
Laporan VOA (Voice of America)

Susan Useem, produser muda membuat film perdananya "Which Way to the War?", film tentang konflik Poso, Sulawesi Tengah. Film ini adalah wujud nyata cinta Sue, panggilan Susan, terhadap Indonesia. Film ini juga diharapkan bisa membantu mencegah dan mengatasi konflik sejenis di berbagai belahan dunia lainnya.


From IMDb page:

The global conflict you can't find on the map. Indonesia, the world's most populous Muslim nation, was also becoming the world's 3rd largest democracy with its free elections in 1998. While most of country remained remarkably peaceful during this transitional moment, a remote area on the island of Sulawesi - Poso - fell victim to brutal communal fighting. The conflict was a product of 'religious' tensions that gave way to jihadist violence, but it was also fueled by widespread corruption and illicit ties among local military and business interests. Fueling it all were underlying struggles for control of local politics, commercial enterprise, and religious authority in this forgotten corner of the world, where religious identity was used as the agitator that exploited and spread the conflict. Filmed over a three-year period, Which Way to the War? delves into the heart of religious conflict in Poso and Indonesia. American filmmaker Sue Useem and her team traveled to some of the most remote regions of Indonesia to understand the dynamics and anatomy of religiously motivated violence in this overwhelmingly tolerant nation. With hundreds of hours of filming and scores of interviews with politicians, officers, activists, journalists, victims, perpetrators, analysts, and citizens, this documentary reveals the true story of the wrenching Poso conflict - but also the story of Poso's redeeming rehabilitation in the conflict's aftermath - a story that has never been revealed before and one that throws new light onto religious conflicts not just in Indonesia, but our whole world.

Konflik global yang tidak akan anda temui pada peta. Indonesia, negara yang berpopulasi Muslim terbesar di dunia, adalah juga negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia dengan pemilihan umumnya pada tahun 1998. Sementara sebagian besar negeri ini tetap telihat damai selama saat transisional ini, suatu daerah terpencil di pulau Sulawesi - Poso - menjadi korban dari perang antar komunal yang brutal. Konflik itu adalah hasil dari ketegangan-ketegangan 'relijius' yang menuntun kepada kekerasan jihadis, namun juga dibakar oleh korupsi dan ikatan-ikatan gelap yang meluas di antara kepentingan-kepentingan militer dengan bisnis. Bahan bakar yang mendasari semuanya adalah perjuangan-perjuangan untuk memperoleh kendali dalam politik-politik lokal, usaha-usaha komersial dan otoritas keagamaan di sudut dunia yang terlupakan ini, dimana identitas keagamaan dipakai sebagai penghasut yang mengeksploitasi dan memperluas konflik itu. Difilmkan selama periode 3 tahun, Which Way to the War? menyelidiki sampai ke jantung dari konflik keagamaan di Poso dan Indonesia. Pembuat film Sue Useem dan timnya melakukan perjalanan ke beberapa wilayah Indonesia yang paling terpencil untuk memahami dinamika dan anatomi dari kekerasan yang dimotivasikan secara relijius di negeri yang toleran secara berlimpahan ini. Dengan ratusan jam pembuatan film dan penyusunan wawancara dengan para politisi, petugas polisi, aktivis, jurnalis, korban, pelaku kejahatan, analis dan penduduk, dokumentari ini menyingkapkan kisah nyata dari konfllik Poso yang merenggut - tetapi juga kisah rehabilitasi penyelamatan Poso dari dampak konflik - suatu kisah yang tidak pernah disingkapkan sebelumnya dan yang memberikan cahaya baru ke atas konflik-konflik keagamaan bukan hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia kita.

Watch a CLIP of this film here
Simaklah KLIP dari film ini di sini

The wisdom of true peace and success is written in Eph. 5:18,
“And be not drunk with wine, wherein is excess; 
but be filled with the Spirit”
Hikmat kedamaian dan keberhasilan sejati terdapat dalam Efs. 5:18,
“Dan janganlah kamu mabuk oleh anggur, karena anggur menimbulkan hawa nafsu, tetapi hendaklah kamu penuh dengan Roh”


At a time where religious violence seems to draw more media attention than ever, Which Way to the War? is a unique and exciting documentary that exposes the truth behind a conflict that lies and fear have fueled, with devastating consequences. American filmmaker Sue Useem, along with a crew of courageous Indonesian journalists and activists, went to great risks to collect the footage, interviews, and stories that make up the first ever documentary feature film on the Poso conflict in Indonesia during the decade from 1998 to 2008.

Instead of just taking one angle on the conflict, Which Way to the War? examines and analyzes the whole story behind the story of Poso, an extremely complex conflict, told by the people who lived through it. Generally cast as a "religious war" between militant groups of Protestants and Muslims that started by fighting between two drunken youths, one Protestant, one Muslim, this documentary identifies the causes and the conspirators who encouraged and armed groups of young men, readily mobilized by calls for religious solidarity at a time when political, economic, and religious stability in the Poso area was under threat.

A cycle of revenge led to the brutal massacre of Muslims in May, 2000, resulting in widespread riots, the deaths or disappearances of hundreds, the displacement of tens of thousands more, and the almost complete abandonment of Poso City. The deaths and displacements barely made the news, overshadowed by Indonesia's bloodier civil conflicts at the time in Aceh, East Timor, and Ambon. Three uneducated Catholic men were arrested by the police for supposedly masterminding the riots, though real evidence against them was virtually nil. Used as scapegoats to cover up the real actors behind the violence, they were sentenced to death and sent to a firing squad. The true masterminds remained at large, and everyone knew it.

While other communal conflicts in Indonesia began to subside by 2002, a new development would bring the agony of Poso to international attention: the arrival of violent jihadist groups eager to spread their own religious message in Poso. They found ready recruits among the victimized and impoverished Poso people, and one of the outside groups, Jemaah Islamiya, was already well know for its religious terrorism, boasting ties with Al-Qaeda.

As Poso became further divided by religious distrust and fear of more violence, Jemaah Islamiya and other groups set up bases to wage their own version of jihad against the local Protestant, Catholic, and Hindu populations. Boys that had grown up playing Nirvana in rock bands were now murdering their neighbors under the guidance of Islamic teachers and their radical ideology. While international headlines filled with reports of bombing attacks by Jemaah Islamiya on western targets in Bali, Jakarta, other parts of Indonesia, Poso remained a backwater of revenge, ravaged by mysterious slayings and terrorist bombings.

It was the horrific and well publicized story of the beheadings of three Protestant school girls in 2005 that finally brought the central government in Jakarta to take action, eventually leading to public identification of those who had been terrorizing Poso. The government pointed to a sophisticated local network of men associated with radical movements across the globe, ready to fight and die for their religious cause.

But Which Way to the War? reveals that jihadist violence was only one of the forces that was fueling the conflict in Poso. Corrupt officials stole much of the money allocated to victims and those displaced by the conflict, police officials were frequent human-rights abusers, and the Indonesian army was helping enrich the local elite and further impoverish the many.

After a decade of religious terror and near anarchy, Poso is finally emerging from the conflict and is the process of rehabilitating itself. Most residents have joined a remarkable grassroots community reconciliation initiative, guided by the diverse faiths that had earlier torn the area apart. Poso is proving itself to be much stronger than the hatred and fear that fueled the decade of conflict, and is now striving to transcend its terrible past and become a new beacon for religious tolerance in Indonesia.

Which Way to the War? takes viewers into the lives of those who were most heroic during the dark times, those who stood unswervingly for truth, justice, and reconciliation, often at great personal risk. A documentary that takes only the side of truth, Which Way to the War? encourages viewers to understand the dynamics of power struggles in fueling of violence, the abuse and manipulation of religion in violent times, and the ways in which people can be transformed by others into murderers - or saints.



Pada saat dimana kekerasan keagamaan kelihatannya menarik perhatian media lebih dari sebelumnya, Which Way to the War? menjadi suatu dokumenter yang unik dan menarik yang mengekspos kebenaran yang terletak di balik suatu konflik dan ketakutan yang menjadi bahan bakarnya, dengan konsekuensi-konsekuensi yang menghancurkan. Pembuat film Amerika, Sue Useem, bersama suatu kru jurnalis dan aktivis Indonesia yang berani, berangkat menghadapi semua resiko untuk mengumpulkan pengukuran, wawancara-wawancara, kisah-kisah yang menyusun film fitur dokumenter pertama mengenai konflik Poso di Indonesia selama dekade 1998 sampai 2008 ini.
Bukannya hanya mengambil salah satu sudut pandang mengenai koncflik ini,
Which Way to the War? menyelidiki dan menganalisa keseluruhan kisah di belakang kisah Poso, suatu konflik yang secara ekstrim bersifat kompleks, diceritakan oleh orang-orang yang telah hidup melewatinya. Secara umum dimasukkan sebagai suatu "perang antar agama" antara kelompok-kelompok militan Protestan dan Muslim yang diawali dengan perkelahian di antara dua anak muda mabuk, yang satu Protestan, yang satu Muslim, dokumenter ini mengidentifikasi sebab-musabab dan orang-orang yang berkomplot yang telah mendorong dan mempersenjatai sekelompok anak muda, yang dengan siap termobilisasi oleh panggilan-panggilan untuk solidaritas relijius pada suatu saat ketika stabilitas politik, ekonomi dan keagamaan di wilayah Poso terancam. 

Suatu siklus balas dendam menuntun ke pembunuhan Muslim besar-besaran yang brutal pada bulan Mei 2000, yang menghasilkan kerusuhan-kerusuhan yang meluas, kematian-kematian atau menghilangnya ratusan orang, lebih banyak lagi pemindahan (pengungsian) puluhan ribu orang dan kota Poso yang hampir sepenuhnya ditinggalkan. Kematian-kematian dan pengungsian-pengungsian itu hampir tidak menjadi berita, tertutupi oleh konflik-konflik sipil Indonesia yang lebih berdarah pada waktu itu di Aceh, Timor Timur dan Ambon. Tiga warga Katolik yang kurang berpendidikan ditahan oleh polisi karena dianggap menjadi perencana utama kerusuhan-kerusuhan, walaupun bukti nyata yang menentang mereka sebetulnya nihil. Digunakan sebagai kambing hitam untuk menutupi pelaku yang sebenarnya di belakang kekerasan itu, mereka dijatuhi hukuman mati dan dikirim ke regu tembak. Perencana utama yang sejati tetap bebas, dan semua orang mengetahuinya.

Sementara konflik-konflik komunal lainnya di Indonesia mulai reda pada tahun 2002, suatu perkembangan baru akan membawa penderitaan memilukan bagi Poso itu kepada perhatian internasional: kedatangan kelompok-kelompok laskar jihad yang kejam yang ingin menyebarkan pesan relijius mereka sendiri di Poso. Mereka mendapati orang-orang yang siap direkrut di antara warga Poso yang telah menjadi korban dan jatuh miskin, dan salah satu dari kelompok-kelompok yang datang dari luar, Jemaah Islamiya, sudah terkenal baik karena terorisme relijiusnya, menyombongkan diri terkait dengan Al-Qaeda.

Selagi Poso semakin terpecah-belah oleh ketidakpercayaan relijius dan ketakutan akan kekerasan lebih lanjut, Jemaah Islamiya dan kelompok-kelompok lain mengatur basis untuk berperang dalam versi jihad mereka sendiri melawan populasi Protestan, Katolik dan Hindu. Anak-anak remaja yang bertumbuh memainkan Nirvana pada grup-grup rock band sekarang membunuh tetangga-tetangga mereka di bawah pengarahan guru-guru Islam dan ideologi radikal mereka. Sementara topik berita utama internasional dipenuhi dengan laporan-laporan serangan-serangan pengeboman oleh Jemaah Islamiya terhadap target-target orang Barat di Bali, Jakarta, bagian-bagian lain Indonesia, Poso tertinggal menjadi arena balas dendam yang terpencil dan terkebelakang, diganasi oleh pembunuhan-pembunuhan misterius dan pengeboman-pengeboman teroris.

Adalah kisah mengerikan yang terpublikasi dengan baik tentang pemenggalan kepala ketiga siswi Protestan pada tahun 2005 yang akhirnya membuat pemerintah pusat di Jakarta bertindak, pada akhirnya menuntun kepada identifikasi publik orang-orang yang telah meneror Poso. Pemerintah menunjuk suatu jaringan lokal yang menyesatkan yang dihubungkan dengan gerakan-gerakan radikal di seluruh dunia, yang siap berperang dan mati karena tujuan agama mereka.

Noviana Malewa, Sole Survivor of Muslim Beheading Attack
Satu-satunya yang selamat dari Serangan Pemenggalan Kepala Muslim
(Christian Persecution Blog)

Namun Which Way to the War? mengungkapkan bahwa kekerasan jihadis hanyalah salah satu dari kekuatan-kekuatan yang menjadi bahan bakar dari konflik di Poso. Pejabat-pejabat yang korup mencuri uang yang dialokasikan untuk para korban dan pengungsi yang terpaksa pindah karena konflik itu, para petugas polisi seringkali melakukan pelanggaran hak azasi manusia dan oknum-oknum angkatan bersenjata Indonesia yang menolong memperkaya elit lokal dan membuat banyak orang semakin jatuh miskin.

Sesudah satu dekade teror relijius dan hampir anarki, Poso akhirnya keluar dari konflik itu dan sedang dalam proses rehabilitasi diri. Kebanyakan warga telah bergabung dengan prakarsa rekonsiliasi komunitas akar rumpur yang nyata, dipimpin oleh beragam kepercayaan yang telah merobek-robek daerah itu sebelumnya. Poso sedang membuktikan dirinya lebih kuat daripada kebencian dan ketakutan yang telah menjadi bahan bakar dekade konflik itu, dan sekarang berjuang untuk melampaui masalalunya yang amat buruk dan menjadi suatu obor baru bagi toleransi hidup beragama di Indonesia.
Which Way to the War? membawa para pemirsa ke dalam kehidupan orang-orang yang paling heroik selama masa-masa kegelapan itu, mereka yang berdiri dengan tak tergoyahkan untuk kebenaran, keadilan dan rekonsiliasi, seringkali dengan resiko pribadi yang besar. Suatu dokumenter yang hanya mengambil sisi kebenaran, Which Way to the War? mendorong para pemirsa untuk memahami dinamika pergolakan-pergolakan kekuatan yang memacu kekejaman, pelecehan dan manipulasi agama dalam saat-saat bengis dan cara-cara dimana orang-orang bisa diubahkan oleh orang lain menjadi pembunuh-pembunuh - atau orang-orang suci.

Laman asli: Which Way to the War? Synopsis

  
The anatomy of religious conflict in Indonesia
- a documentary film -
Visit www.whichwaytothewar.com for more information

Free Which Way to the War? (2009) Watch Online


The Lord's Prayer
 Our Father which art in heaven,
Hallowed be Thy name.
Thy kingdom come,
Thy will be done in earth, as it is in heaven.
Give us this day our daily bread.
And forgive us our debts, as we forgive our debtors.
And lead us not into temptation,
but deliver us from evil:
For Thine is the kingdom, and the power, and the glory, for ever.
Amen

Doa Bapa Kami

 Bapa kami yang di sorga,
Dikuduskanlah nama-Mu,
datanglah Kerajaan-Mu,
jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.
Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya
dan ampunilah kami akan kesalahan kami,
seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami;
dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan,
tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat.
Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya.
Amin 



Be blessed more by reading all of this Sulawesi series! 
Diberkatilah lebih lagi dengan membaca seluruh serial Sulawesi ini!

2 komentar:

  1. artikelnya bgus,,,,,
    follow me back di WWW.sheilaitu.blogspot.com n www.agentyesbeo.blogspot.com
    see u.....

    BalasHapus
  2. Terimakasih,, sangat memberkati.

    BalasHapus

Since 18 December 2010

free counters