In December 2004, Santoso, a pastor of a church in Poso, was attacked by militants. As John Wilson found out, this incident has only increased his desire to share the love of God with the people of Indonesia.
Pada bulan Desember 2004, Santoso, seorang Pendeta suatu gereja di Poso, diserang oleh kaum militan. Sebagaimana ditemui John Wilson, peristiwa itu hanya mengobarkan keinginannya untuk membagikan kasih Tuhan kepada setiap orang di Indonesia. Voice of the Martyrs, 1 Jul 2009
INDONESIA: Bold Witness for Christ
The Video report [dan Terjemahan Indonesia] is after this article (ada di akhir artikel ini)
On the evening of 23 December 2004, after a worship service at the church, Santoso and his wife went to spend the night at his parents' house. He decided it wasn't safe to stay overnight in the church. "The following morning as I was praying with my wife, I didn't feel afraid. Instead I was filled with peace unlike anything I had ever felt before. "Later that morning, Santoso borrowed a friend's motorbike because he wanted to return to the church. After completing his work he asked if someone from the congregation would follow him back to his parents' house. They were only one kilometre from the church when some men came out of the bushes. "At that moment, I didn't feel afraid at all even though I saw one of them holding a machete. I thought he was a nice guy who just worked with his machete at the plantation nearby," Santoso said.
In the past when travelling alone, he had always felt fear, but because God had given him peace that morning as he prayed, he was not afraid. "I kept going and when I was about three or four metres from him, I smiled and beeped the horn of my bike as a sign of greeting.
Then the man turned and swung his machete, aiming for my neck!" Santoso quickly ducked down, but the blade struck him across the mouth. He kept riding for several metres and then fell off his motorbike. Two men started chasing after him, while another two attacked Santoso's friend who had been following him. His friend managed to break free and ran to get help. Santoso struggled to follow, holding his jaw as he ran and trying to stop the bleeding. As the two men chased him, Santoso cried out, "God help me!"
As he prayed with every step, he felt a power come over him and he seemed to become stronger and was able to run faster. "Amazingly, while I ran, I didn't feel any pain from my wound at all," Santoso said. "I didn't feel dizzy although I was bleeding profusely. I kept running until I reached the village, about a kilometre away. I saw a man and asked for help. He happened to be a pastor." The pastor wept as he prayed for Santoso. The villagers put Santoso into a van and took him to the hospital, about 20 kilometres away. Santoso was in hospital for two weeks. His mouth and tongue were cut and he lost 10 of his teeth, severely limiting his speech and ability to preach. The police made no effort to apprehend Santoso's assailants.
In 2005, Santoso's condition came to the attention of VOMedical who have since completed reconstructive surgery on his jaw and teeth. Thanks to VOMedical, Pastor Santoso's teeth were replaced and he continues to preach the Gospel. Santoso said he is very thankful to the Lord for VOMedical coming and meeting his needs. He never thought that people from overseas cared so much about the believers in Indonesia and the persecution they face.
Santoso did not hesitate to forgive his attackers. "God has put vision in my heart to serve Him more than ever before and I want to win many souls for Christ. God has put peace and joy in my heart and as His servant; I want to put into practise God's love to those who don't know Christ. They think that we are their enemies, so I want to show Christ's love to them."
Voice of the Martyrs Australia met with Santoso a few months ago and enquired about his recovery and ongoing ministry. He currently shares Christ with the Wana tribe, a primitive culture that still sleeps in trees, trades wood for food and is nomadic. Through Santoso's efforts, this tribe now has Bibles and the Gospel Storybook, 'He Lived Among Us.' He baptised 10 new believers recently and says their faith continues to grow with each visit. While Santoso is away, his wife ministers to the believers in their home church. When a church reaches 20 believers, Santoso moves on and plants a church in another village. We asked Santoso if he is afraid after all that has happened. "Even though I am still being threatened, I am not afraid. I bear testimony to the power of God over my life." "And what sustains you as you continue in this work?" He replied, "I know that the Lord helps me and I am thankful that the Lord still uses me as His tool." Santoso has an unwavering faith and the Lord has now added three additional workers to his team.
Voice of the Martyrs Special Report - Indonesia
FOR MORE INFORMATION VISIT: www.persecution.com.au
INDONESIA: Saksi yang Berani bagi Kristus
Di sore hari tanggal 23 December 2004, sesudah suatu kebaktian di gereja, Santoso dan istrinya pergi menginap di rumah orangtuanya. Ia memutuskan bahwa tidak aman untuk bermalam di gereja. "Pagi berikutnya ketika saya berdoa dengan istri saya, saya tidak merasa takut. Malahan saya dipenuhi dengan damai sejahtera yang belum pernah saya rasakan sebelumnya." Beberapa saat kemudian di pagi itu Santoso meminjam sepeda motor karena ia ingin kembali ke gereja. Sesudah menyelesaikan pekerjaannya, ia meminta seorang dari jemaat itu untuk ikut dengannya kembali ke rumah orangtuanya. Mereka baru satu kilometer dari gereja ketika beberapa orang keluar dari perkebunan. "Pada saat itu, saya tidak merasa takut sama sekali walaupun saya lihat salah satu dari mereka memegang parang. Saya pikir dia orang baik-baik yang baru saja bekerja dengan parangnya di perkebunan dekat di sekitar situ," kata Santoso.
Sebelumnya jika melakukan perjalanan sendirian, ia selalu merasa takut, namun karena Tuhan telah memberikan damai sejahtera kepadanya ketika ia berdoa pada pagi itu, ia tidak takut. "Saya terus berjalan dan ketika saya berada sekitar tiga atau empat meter darinya, saya tersenyum dan membunyikan klakson sepeda motor sebagai tanda salam.
Kemudian orang itu berbalik dan mengayunkan parangnya, ditujukan ke leher saya!" Santoso dengan cepat menunduk, namun senjata tajam itu menghujam mulutnya. Ia terus berkendara sampai beberapa meter dan kemudian jatuh dari sepeda motornya. Dua orang mulai mengejar dia, sementara dua lainnya menyerang teman Santoso yang telah ikut dengan dia. Temannya itu berhasil meloloskan diri dan lari mencari pertolongan. Santoso berjuang untuk mengikutinya, sambil menahan dagunya selagi ia berlari dan berusaha untuk menghentikan darah yang mengalir. Sementara kedua orang itu mengejarnya, Santoso berseru, "Tuhan, tolong saya!"
Selagi ia berdoa dalam setiap langkah, ia merasakan suatu kekuatan turun atasnya dan ia seakan menjadi lebih kuat dan bisa berlari lebih cepat. "Herannya, ketika saya berlari, saya sama sekali tidak merasakan sakit dari luka saya," kata Santoso. "Saya tidak merasa pusing walaupun saya mengucurkan darah dengan begitu banyak. Saya terus berlari sampai saya mencapai desa itu, sekitar satu kilometer jauhnya. Saya melihat seseorang dan meminta tolong. Ternyata ia adalah seorang pendeta." Pendeta itu menangis ketika ia berdoa untuk Santoso. Penduduk desa menaruh Santoso ke dalam suatu van dan membawanya ke rumah sakit yang berjarak sekitar 20 kilometer. Mulut dan lidahnya dibacok dan ia kehilangan 10 gigi, yang sama sekali membatasi bicaranya dan kemampuannya untuk berkhotbah. Polisi tidak berusaha menangkap para penyerang Santoso.
Pada tahun 2005, kondisi Santoso menarik perhatian VOMedical yang kemudian membantunya menyelesaikan operasi bedah yang merekonstruksi dagu dan giginya. Terima kasih kepada VOMedical, gigi-gigi Pastor Santoso telah diganti dan ia terus mengkhotbahkan Injil. Santoso mengatakan ia sangat berterimakasih kepada Tuhan karena kedatangan VOMedical dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya. Ia tidak pernah berpikir bahwa orang-orang dari negeri seberang sedemikian peduli mengenai umat pemercaya di Indonesia dan penganiayaan yang mereka hadapi.
Santoso tidak sungkan untuk mengampuni para penyerangnya. "Allah telah menaruh visi di dalam hati saya untuk melayani Dia lebih giat lagi daripada sebelumnya dan saya ingin memenangkan banyak jiwa bagi Kristus. Allah telah menaruh damai sejahtera dan sukacita di dalam hati saya dan sebagai hamba-Nya, saya ingin mempraktekkan kasih Allah kepada mereka yang belum mengenal Kristus. Mereka pikir bahwa kita adalah musuh mereka, karena itu saya ingin menunjukkan kasih Kristus kepada mereka."
Voice of the Martyrs Australia bertemu dengan Santoso beberapa minggu yang lalu dan meminta keterangan mengenai pemulihan dan pelayanannya yang terus berlangsung. Saat itu ia sedang membagikan Kristus kepada suku Wana, suatu kultur primitif yang masih tidur di pohon-pohon, menjual kayu untuk makanan dan nomadik (hidup berpindah-pindah). Melalui upaya Santoso, suku ini sekarang memiliki Alkitab dan Buku Cerita Injil, 'Dia Hidup Di Antara Kita'. Ia membaptiskan 10 orang percaya baru belum lama ini dan berkata bahwa iman mereka terus bertumbuh dalam setiap kunjungan. Sementara Santoso pergi, istrinya melayani umat percaya di gereja rumah mereka. Ketika suatu gereja mencapai 20 orang pemercaya, Santoso pindah dan menanam suatu gereja di desa yang lain lagi. Kami menanyakan Santoso apakah ia takut sesudah semua yang telah terjadi. "Meskipun saya masih terancam, saya tidak takut. Saya membawa kesaksian akan kuasa Tuhan di atas hidup saya." "Dan apa yang membuat anda bertahan dalam meneruskan pekerjaan ini?" Ia menjawab, "Saya tahu bahwa Tuhan menolong saya dan saya berterimakasih bahwa Tuhan masih memakai saya sebagai alat-Nya." Santoso memiliki iman yang tidak tergoncangkan dan sekarang Tuhan telah memberikan tiga pengerja tambahan ke dalam timnya.
Kemudian orang itu berbalik dan mengayunkan parangnya, ditujukan ke leher saya!" Santoso dengan cepat menunduk, namun senjata tajam itu menghujam mulutnya. Ia terus berkendara sampai beberapa meter dan kemudian jatuh dari sepeda motornya. Dua orang mulai mengejar dia, sementara dua lainnya menyerang teman Santoso yang telah ikut dengan dia. Temannya itu berhasil meloloskan diri dan lari mencari pertolongan. Santoso berjuang untuk mengikutinya, sambil menahan dagunya selagi ia berlari dan berusaha untuk menghentikan darah yang mengalir. Sementara kedua orang itu mengejarnya, Santoso berseru, "Tuhan, tolong saya!"
Selagi ia berdoa dalam setiap langkah, ia merasakan suatu kekuatan turun atasnya dan ia seakan menjadi lebih kuat dan bisa berlari lebih cepat. "Herannya, ketika saya berlari, saya sama sekali tidak merasakan sakit dari luka saya," kata Santoso. "Saya tidak merasa pusing walaupun saya mengucurkan darah dengan begitu banyak. Saya terus berlari sampai saya mencapai desa itu, sekitar satu kilometer jauhnya. Saya melihat seseorang dan meminta tolong. Ternyata ia adalah seorang pendeta." Pendeta itu menangis ketika ia berdoa untuk Santoso. Penduduk desa menaruh Santoso ke dalam suatu van dan membawanya ke rumah sakit yang berjarak sekitar 20 kilometer. Mulut dan lidahnya dibacok dan ia kehilangan 10 gigi, yang sama sekali membatasi bicaranya dan kemampuannya untuk berkhotbah. Polisi tidak berusaha menangkap para penyerang Santoso.
Pada tahun 2005, kondisi Santoso menarik perhatian VOMedical yang kemudian membantunya menyelesaikan operasi bedah yang merekonstruksi dagu dan giginya. Terima kasih kepada VOMedical, gigi-gigi Pastor Santoso telah diganti dan ia terus mengkhotbahkan Injil. Santoso mengatakan ia sangat berterimakasih kepada Tuhan karena kedatangan VOMedical dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya. Ia tidak pernah berpikir bahwa orang-orang dari negeri seberang sedemikian peduli mengenai umat pemercaya di Indonesia dan penganiayaan yang mereka hadapi.
Santoso tidak sungkan untuk mengampuni para penyerangnya. "Allah telah menaruh visi di dalam hati saya untuk melayani Dia lebih giat lagi daripada sebelumnya dan saya ingin memenangkan banyak jiwa bagi Kristus. Allah telah menaruh damai sejahtera dan sukacita di dalam hati saya dan sebagai hamba-Nya, saya ingin mempraktekkan kasih Allah kepada mereka yang belum mengenal Kristus. Mereka pikir bahwa kita adalah musuh mereka, karena itu saya ingin menunjukkan kasih Kristus kepada mereka."
Voice of the Martyrs Australia bertemu dengan Santoso beberapa minggu yang lalu dan meminta keterangan mengenai pemulihan dan pelayanannya yang terus berlangsung. Saat itu ia sedang membagikan Kristus kepada suku Wana, suatu kultur primitif yang masih tidur di pohon-pohon, menjual kayu untuk makanan dan nomadik (hidup berpindah-pindah). Melalui upaya Santoso, suku ini sekarang memiliki Alkitab dan Buku Cerita Injil, 'Dia Hidup Di Antara Kita'. Ia membaptiskan 10 orang percaya baru belum lama ini dan berkata bahwa iman mereka terus bertumbuh dalam setiap kunjungan. Sementara Santoso pergi, istrinya melayani umat percaya di gereja rumah mereka. Ketika suatu gereja mencapai 20 orang pemercaya, Santoso pindah dan menanam suatu gereja di desa yang lain lagi. Kami menanyakan Santoso apakah ia takut sesudah semua yang telah terjadi. "Meskipun saya masih terancam, saya tidak takut. Saya membawa kesaksian akan kuasa Tuhan di atas hidup saya." "Dan apa yang membuat anda bertahan dalam meneruskan pekerjaan ini?" Ia menjawab, "Saya tahu bahwa Tuhan menolong saya dan saya berterimakasih bahwa Tuhan masih memakai saya sebagai alat-Nya." Santoso memiliki iman yang tidak tergoncangkan dan sekarang Tuhan telah memberikan tiga pengerja tambahan ke dalam timnya.
Laman asal: http://www.persecution.com.au/news.asp?pid=39&id=232
Be blessed more by reading all of this Sulawesi series!
Diberkatilah lebih lagi dengan membaca seluruh serial Sulawesi ini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar